Rabu, 20 April 2016

Membangun 18 Nilai Karakter Dalam Sistem Pendidikan Nasional

18 Nilai Pendidikan Karakter di Sekolah

Nilai-nilai pendidikan karakter perlu dijabarkan sehingga diperoleh deskripsinya. Deskripsi beguna sebagai batasan atau tolok ukur ketercapain pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah. adapun 18 nilai-nilai pendidikan karakter didiskripsikan adalah sebagai berikut:

Nilai Deskripsi
  1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
  2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
  3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
  4. Disiplin:  Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
  5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
  6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
  7.  Mandiri:  Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
  8. Demokratis:  Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
  9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
  10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
  12. Menghargai Prestasi:  Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untukmenghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
  13. Bersahabat/Komuniktif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
  14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
  15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
  16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
  17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
  18. Tanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Ruang Lingkup Pendidikan Karakter (Puskur, 2011: 4) Pendidikan karakter meliputi dua aspek yang dimiliki manusia, yaitu aspek ke dalam dan aspek keluar. Aspek ke dalam atau aspek potensi meliputi aspek kognitif (olah pikir), afektif (olah hati), dan psikomotor (olah raga). Aspek ke luar yaitu aspek manusia dalam konteks sosiokultur dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing aspek memiliki ruang yang berisi nilai-nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan karakter terdapat pada bagan di atas.

Minggu, 27 Maret 2016

ESENSI METODE MONTESSORI



ESENSI METODE MONTESSORI

A.    Biografi Maria Montessori
Seorang perempuan berkebangsaan Italia yang memiliki nama lengkap Maria Montessori dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1870 di kota Chiaravalle, provinsi Ancona, Italia Utara. Ayah Maria Alessandro Montessori adalah tentara pejuang yang mendukung persatuan Italia dan memiliki pemikiran sangat tradisional serta militan. Renilde Stoppani, ibu Maria Montessori berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan tinggi. Menururt Kramer sebagaimana dikutip oleh Agustina Prasetyo Magini, Renilde Stoppani disebut sebagai “wanita dalam era transisi”.[1]
Selepas dari militer, Alessandro menjadi pegawai negeri. Setelah berhasil membantu persatuan Italia, Alessandro diangkat sebagai karyawan kepausan dan bekerja sebagai akuntan di departermen keuangan. Namun pada tahun 1853, Alessandro mengundurkan diri dan memilih menjadi pengawas atau “inspektur” perusahaan garam dan tembakau “Comachio e Cervia” yang masih berada dibawah kantor kementrian keuangan. Sebagai inspektur, Alessandro sering ditugaskan ke berbagai tempat. Pada tahun 1865 Alessandro ditugaskan di Chiaravalle, yang kemudian pada saat itulah ia bertemu dengan Renilde Stoppani seorang wanita cantik keturunan bangsawan.
Alessandro dan Renilde menikah pada musim semi tahun 1866. Saat itu Alessandro berusia 33 tahun, tetapi sudah memiliki pekerjaan dengan jabatan tinggi. Setelah menikah Alessandro ditugaskan ke Venice. Pada tahun 1869, mereka kembali Chiarvalle. Setahun kemudian, lahirlah Maria. Mengingat jasa alessandro Montessori yang sangat besar terhadap pemerintah Italia, ia mendapatkan anugerah jasa “Cavaliere” yang setingkat dengan gelar kebangsawanan dari kerajaan Inggris pada tahun 1880. Saat itu maria masih berusia 10 tahun dan Alessandro berusia 48 tahun.
Renilde stoppani, meskipun mengikuti pola hidup tradisional dengan mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga, namun ia tetap mendukung ambisi dan keinginan anaknya dalam melawan arus stereotipe wanita pada masa itu. Renilde sangat liberal dan mengagumi sepupunya, Antonio Stoppani.[2] Dia adalah pakar di bidang ilmu Bumi dan Paleontologi (Ilmu Fosil). Sumbangan Antonio adalah pandangan positif tentang ilmu bumi dan fosil yang saat itu sedikit bertentangan dengan dogma gereja.  
Maria tumbuh dan berkembang diantara orang-orang berjiwa patriotik dan sangat terbuka terhadap kemajuan. Namun jika ia sendiri tidak memiliki krakter istimewa dari dalam dirinya, tentu ia tidak akan memiliki kepekaan terhadap problematika sosial yang ada saat itu. Maria dibesarkan dalam pola keluarga tradisional, yaitu ayah bekerja dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Maria hidup dalam keluarga yang terbuka, demokratis, dan disiplin.
Maria sejak kecil diwajibkan oleh ibunya untuk merenda dan membuat sesuatu untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Pengalaman inilah menjadi pembelajaran tentang kepekaan sosial yang ditanamkan oleh ibunya kepada maria. Selain itu, Maria kecil diwajibkan ibunya untuk membantu membersihkan lantai. Pengalaman ini yang kemudian dijadikan Maria sebagai dasar pembelajaran “kehidupan sehari-hari” dalam pendekatannya. [3]
B.     Latar belakang pendidikan Maria Montessori
Pada tahun 1876 tepatnya saat Maria memasuki usia enam tahun, ia memasuki sekolah dasar di Roma. Sejak SD Maria sudah memiliki ketertarikan yang besar terhadap ilmu matematika. Maka, sewaktu SMA ia lebih memilih jurusan teknik. Maria menyelesaikan sekolah dasarnya pada pertengahan tahun 1881. Pada waktu itu, sekolah dasar berlangsung selama lima tahun dan sistempendidikan di Italia belummengenal sekolah menengah pertama. Waktu itu hanya ada sekolah kejuruan yang berlangsung selama tiga tahun. Sekolah kejuruan tersebut dapat disamakan dengan sekolah menengah pertama saat ini.
Kita dapat mengikuti alur pendidikan Maria Montessori berdasarkan sistem pendidikan Italia pada saat itu sebagai berikut:[4]
1.      Tahun 1876/1877 hingga 1880/1881, Maria belajar di SD Via di San Nicolo dari Tolentino. Meskipun disebutkan bahwa sekolah dasar ditempuh selama5 tahun, terdapat data yang tidak jelas untuk tahun ajaran 1881/1882 dan tahun ajaran 1882/1883.
2.      Tahun 1883/1884 hingga 1885/1886, Maria belajar di sekolah kejuruan teknik Regia Scuola Tecnica Michelangelo Buonarotti.
3.      Tahun 1886/1887 hingga 1889/1890, Maria belajar di akedemi kejuruan teknik Regio Istituto tecnico Leonardo da Vinci dan mengambil jurusan Ilmu Fisika dan Matematika.
4.      Tahun 1890/1891 hingga 1891/1892, Maria kuliah di Universitas La sapienza Roma, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
5.      Tahun 1892/1893 hingga 1895/1896, Maria beralih ke Fakultas Kedokteran dan menyelesaikan studinya.
Pada saat Maria merasa tidak mengalami kesulitan dalam belajar dan selalu lulus ujian atau tes secara mudah, saat itulah ia mulai tertarik untuk belajar lebih serius. Ia sangat tertarik pada ilmu Matematika. Kadang-kadang, saat pelajaran teater di sekolah diam-diam Maria membawa buku matematikanya dan mempelajarinya dalam cahaya remang-remang. Ketertarikan yang besar terhadap ilmu matematika menyebabkan Maria meneruskan sekolahnya di sekolah kejuruan dasar teknik.
Memilih jurusan teknik tentu saja dianggap berlebihan oleh ayah Maria. Pada masa itu, wanita bergelar sarjana teknik belum pernah terpikirkan sama sekali, apa lagi ia berdarah bangsawan. Ambisi untuk mengambil sekolah jurusan teknik dinilai sangat tidak masuk akal karena sekolah teknik didominasi oleh laki-laki, dan tidak ada satupun siswa wanita di sekolah itu.
Renilde mendukung Maria untuk berani melawan arus dan berjuang mewujudkan impiannya. Hal itu tampak setelah Maria lulus dari sekolah kejuruan dasar teknik. Maria ingin melanjutkan ke akademi kejuruan teknik, namun sekali lagi ia mendapat tantangan keras dari ayahnya. Berkat kegigihan dan dukungan kuat ibunya, akhirnya Maria diizinkan masuk Institut Ilmu Teknik dan lulus dengan nilai akhir 137 dari 150. Nilai Maria yang sangat bagus tersebut kian membuka jalannya ke Universitas.
Seiring berjalannya waktu, minat Maria terhadap ilmu teknik dan matematika berubah menjadi ketertarikan terhadap ilmu biologi. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan sekolahnya di Institut Ilmu Teknik, Maria ingin mengambil kuliah di fakultas Kedokteran. Sekali lagi, keinginan Maria mendapat tantangan keras dari keluarganya, bahkan juga dari pihak universitas. Paradigma masyarakat pada saat itu, tidak mungkin seorang wanita mempelajari ilmu kedokteran, dan ilmu kedokteran hanya boleh dipelajari oleh laki-laki.
Jalan munuju fakultas kedokteran benar-benar tertutup bagi maria. Namun, Maria tidak kehilangan akal.niatnya untuk masuk ke fakultas Kedokteran ia tangguhkan sementara dan mengambil kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tentu saja Renilde, ibu maria tidak tinggal diam. Maria dan ibunya berkisah banyak tentang kesulitan maria memasuki Fakultas Kedokteran kepada Antonio Stoppani yang pada waktu itu menjadi ilmuwan terkenal dari universitas Pavia dan Universitas di Milan. Antonio melayangkan surat pribadi kepada Paus dan ditembuskan kepada Universitas La Sapienza di Roma.
Pada akhirnya Maria diterima masuk ke Fakultas Kedokteran dengan mengikuti tes tertulis berbahasa Latin dan Italia. Pada waktu bersamaan, Paus Leo XIII mengeluarkan pernyataan bahwa profesi sebagai dokter merupakan profesi yang mulia bagi wanita. Sejak itu, protes masyarakat tentang kehadiran wanita yang ingin berprofesi sebagai dokter berhenti.[5]
Pada tanggal 10 Juli 1896, Maria lulus dari Fakultas Kedokteran dengan nilai luar biasa. Nilai maksimal untuk suatu kelulusan seharusnya adalah 100, Maria Montessori lulus dengan nilai 105. Itulah bukti bahwa Maria memang sangat luar biasa dengan kepekaan dan karismanya. seperti ditulis Maria kepada seorang sahabatnya[6], “Aku terkenal bukan karena keahlianku atau kemampuan intelektualku. Aku terkenalhanya karena keberanianku menjadi berbeda dalam banyak hal. Ini seperti seseorang yang berharap dan selalu bisa mencapainya. Namun, untuk mencapai impian tersebut, diperlukan usaha dan pengorbanan yang besar.”
C.    Konsep Maria Montessori Tentang Pendidikan Anak Usia Dini
Maria Montessori adalah seorang ilmuan yang mempelajari anak dengan observasi dan eksperimen. Beliau yakin bahwa dirinya perlu tahu anak secara menyeluruh sebelum benar-benar memahami bagaimana perilaku anak. Montessori menemukan kekuatan tersembunyi yang membuat anak beraktifitas secara spontan. Observasi Montessori juga menguak komponen anak belajar dimasa pertembuhan.[7]
Maria Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir dan  tahun-tahun pertama kehidupan anak, yang merupakan masa-masa formatif, paling penting baik secara fisik maupun mental. Bahkan, bayi yang kecilpun harus di kenalkan pada orang-orang dan suara-suara, diajak bercanda dan di ajak bercakap-cakap kalau dia ingin berkembang menjadi anak yang normal dan bahagia. Seorang bayi mempunyai pikiran yang aktif, yang tidak hanya secara pasif menunggu instruksi dari orang dewasa, dan menjadi apatis jika selalu di tinggal sendirian. Melalui proses belajar yang normal dan secara bertahap, pola-pola prilaku ditetapkan dan kekuatan-kekuatan pikiran seorang anak secara perlahan ditumbuhkan. Metode yang sesuai dalam tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya akan menentukan kepribadian anak setelah dewasa, karena perkembangan mental dalam usia-usia awal berjalan dengan cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelahkan.[8]
Meskipun metode Montessori merupakan pedagogi ilmiah, konsep Montessori tentang watak anak bersifat spiritual, bahkan hampir metafisik. Beliau mengklaim bahwa tiap-tiap anak ketika lahir memiliki daya psikis, sebuah pengajar dalam diri yang merangsang pembelajaran. Anak-anak memiliki daya interior untuk menyerap dan mengasimilasi banyak unsur dari sebuah kebudayaan yang kompleks tanpa pengajaran langsung.[9] Dari pada menjangkau ke dalam wilayah spiritual tersebut untuk mendiskripsikan watak anak-anak, Montessori meninggalkan teori-teori filsafat yang abstrak menuju metode ilmiah untuk mengungkap pola-pola perkembangan anak. Dengan melakukan hal ini, beliau menyusun sebuah rangkaian proses pembelajaran yang sepenuhnya mengutamakan pola-pola pertumbuhan dari perkembangan manusia.[10]
Montessori merupakan sistem revolusioner berdasarkan hukum alam yang kekal, yaitu pendidikan baru sejak lahir hingga dewasa perlu ditanamkan. Pendidikan harus direkonstruksi dan didasarkan atas pembahasan dan hukum alam. Pendidikan tidak didasarkan pada pemahaman dan prasangka orang dewasa. Dr.Maria Montessori memandang hukum alam berlaku pada anak. Ketika anak diberi motivasi dan lingkungan yang rapi, anak spontan menunjukkan sikap yang berubah-ubah, bebas dan alami, anak akan memiliki karakter disiplin, selaras dengan realita, dan harmoni dengan teman. Oleh Montessori, ini disebut normalisasi, karena mengungkap kebenaran anak. Dengan demikian pendidikan baru yang beliau formulasikan menumbuhkan kondisi yang memungkinkan agar anak berkembang secara optimal.[11]
D.    Prinsip-prinsip Metode Montessori
Dalam metode Montessori ada beberapa aspek pendidikan yang merupakan prinsip metode Montessori, di antaranya adalah prinsip mendidik anak sendiri, konsep kebebasan, struktur dan urutan, realitas dan kealamian, keindahan dan nuansa, serta prinsip permainan montessori.
1.      Prinsip mendidik diri sendiri
Masa anak-anak prasekolah merupakan masa dimana rasa ingin tahu anak sangat besar. Apa yang mereka amati dan mereka temukan merupakan hal yang menarik bagi mereka. Pada masa tersebut rasa kehawatiran orang tua juga besar terhadap anak, dimana orang tua merasa hawatir membiarkan anak mereka bermain sendiri, hawatir akan terjatuh, terluka, dan lain sebagainya.[12] Tetapi tidak dengan Montessori yang membiarkan anak bermain sendiri, dengan begitu dia mengetahui perkembangan yang terjadi pada anak tersebut.[13] Hal ini merupakan sebuah teknis khusus yang diperlukan bagi para pendidik yang bertugas memandu peserta didik menuju penguasaan diri yang sempurna. Karena anak belajar bergerak tidak dengan duduk diam di tempatnya. Seorang anak menyiapkan dirinya bukan hanya untuk sekolah tapi juga untuk kehidupannya kelak yakni melakukan aktivitas, pembiasaan, latihan, serta melakukan dengan mudah tugas-tugas sederhana secara mandiri.[14]
Montessori mementingkan kreativitas anak, tiap anak mempunyai dorongan dari dalam diri (insting) untuk aktif. Anak selalu sibuk kecuali dia sakit. Untuk memenuhi insting tersebut Montessori yakin bahwa dengan perbuatan sendiri atau keaktivan, anak berani menjumpai persoalan yang ada di hadapannya dan memecahkannya secara cerdas. Teranglah bahwa anak akan berani berdiri sendiri di tengah-tengah orang lain, karena ia sadar bahwa segala kecakapan dan ketangkasan yang ada padanya adalah hasil dari usahanya sendiri.[15]
Jika anak tidak memiliki kecenderungan-kecenderungan regresif (kemunduran/keterbelakangan), maka sifat alami anak adalah bertujuan kea rah kemandirian fungsional secara langsung dan penuh semangat. Perkembangan mengambil bentuk sebuah dorongan menuju kemandirian yang semakin besar. Penguasaan kemandirian anak bermula sejak perkenalannya dengan kehidupan. Saat dirinya mengalami pertumbuhan, ia menyempurnakan dirinya dan mengatasi setiap rintangan yang dijumpai di sepanjang jalan yang ditempuhnya. Sebuah kekuatan vital tengah bekerja di dalam dirinya, dan memandu upaya-upaya menuju tujuannya.[16]
Jika yang dimaksudkan dengan pendidikan adalah membantu kehidupan anak yang sedang mengalami perkembangan, maka orang tua harus bergembira setiap kali anak memperlihatkan bahwa dirinya telah menguasai tingkat kemandirian yang baru. Segala sesuatu di dunia berciri aktif. Pada puncaknya hidup adlah aktivitas dan hanya melalui aktivitaslah kesempurnaan dan penyempurnaan hidup dapat diwujudkan dan diperoleh.[17]
2.      Prinsip Lingkungan yang Disiapkan
Pada usia dini anak menyerap segala macam pengetahuan di lingkungan sekitarnya melalui hidup yang alami setiap hari. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan dimana ia bermain. Melihat kenyataan yang demikian dan menyadari akan keunikan anak, maka Montessori menyiapkan lingkungan yang dikondisikan secara khusus dan menempatkan anak didalamnya dengan memberikan kebebasan anak untuk tinggal di dalamnya dan menyerap apa saja yang ditemukan di sana. Adapun lingkungan itu kemudian di kenal dengan “The Prepared Environment” (lingkungan yang disiapkan).[18]
Mengarahkan perhatian pada lingkungan, tentu saja mencakup perlengkapan ruang kelas. Modifikasi mendasar pada perlengkapan dengan membuat meja dengan kaki octagonal yang lebar dan kuat, dimana meja tersebut sangat kuat dan sangat ringan dan panjangnya cukup untuk dua sampai tiga anak duduk berdekatan, juga disediakan meja kecil untuk anak agar dapat bekerja sendirian, kursi-kursi kecil tersebut dari kayu yang juga sangat ringan dan bentuknya sangat menarik, wastel kecil yang dipasang cukup rendah sehingga dapat digunakan oleh anak berusia tiga tahun. Pada setiap kelas dilengkapi dengan serangkaian lemari rendah yang panjang yang husus dirancang untuk menyimpan bahan-bahan pembelajaran, terdapat pula papan-papan yang digantung rendah dengan gambar-gambar yang menarik yang dipilih secara hati-hati yang menampilkan pemandangan sederhana yang dapat menarik minat anak secara alami.
Dalam lingkungan yang semacam ini anak memiliki kebebasan bergerak dan melakukan aktivitas dengan mudah. Sesungguhnya ketidakbergerakan merupakan sesuatu yang menghalangi anak untuk belajar dengan baik dan akurat, dan menjadikannya tidak terlatih ketika mendapati pada sebuah lingkungan dengan meja dan kursi yang terpaku di lantai sehingga anak tidak dapat menggerakkannya. Pada lingkungan yang disiapkan seoarang anak tidak hanya belajar untuk bergerak dengan baik dan benar, tapi juga untuk memahami alasan bagi tingkah lakunya. Kemampuan bergerak yang ia peroleh akan berguna bagi dirinya sepanjang hidup karena ketika masih anak-anak dia mampu mengendalikan dirinya dengan benar sekaligus dengan kebebasan yang penuh.[19]
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik kelas Montessori. Pertama, pengelompokkan bauran usia biasanya usia 3, 4, dan 5 tahun digabungkan. Sebagian pula usia 6, 7, dan 8 tahun dan seterusnya. Kedua, pengaturan ruangan dengan rak-rak rendah terbuka berisi banyak materi yang diatur dengan cermat yang bisa dipilih oleh anak-anak. Ketiga, ruang terbuka dilantai membuat anak-anak bisa bekerja di lantai. Keempat, Jumlah rak untuk memuat materi Montessori yang diperlukan lebih banyak dari yang biasanya terlihat pada model pendidikan lainnya. Kelima, sikap bekerjasama alih-alaih persaingan dalam menyelesaikan tugas.[20]
3.      Prinsip Pentingnya kebebasan
Metode pendidikan Montessori menekankan terhadap akan pentingnya kebebasan. Karena hanya dalam nuansa atau iklim yang bebaslah anak dapat menunjukkan dirinya. Orang tua dan guru serta lingkungan bertanggung jawab dalam dalam membantu perkembangan fisik mereka, oleh karena itu anak harus disediakan ruang yang bebas dan terbuka. Selain itu, kunci terjadinya perkembangan yang optimal adalah kebebasan. Montessori mengatakan bahwa kebebasan sejati adalah suatu konsekuensi dari perkembangan. Jika anak dihadapkan pada lingkungan yang tepat, dan peluang kepada mereka untuk secara bebas merespon secara individual terhadap lingkungan tersebut, maka pertumbuhan alami anak terbuka dalam kehidupan mereka.[21]
Oleh karena itu, perkembangan anak harus dibantu dengan cara-cara sebagai berikut:
a)      Anak hendaknya dibantu memperoleh kemandirian melalui lingkungannya. Mereka harus diberikan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong kemandirian. Mereka tidak boleh dibantu orang lain untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya mereka sendiri dapat melakukannya.
b)      Anak hendaknya dibantu untuk mengembangkan kemauan (tekad dan daya juang) dengan cara melatih mereka mengkoordinasikan tindakannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang harus di capai.
c)      Anak hendaknya dibantu mengembangkan pemahaman mereka tentang baik dan yang buruk.
Montessori juga selalu mengingatkan untuk selalu memahami bahwa hanya tindakan yang bersifat destruktif (merusak) yang hendaknya lebih dibatasi. Semua aktivitas lain yang konstruktif (membangun) , apapun itu, dengan cara apapun mereka melakukannya, hendaknya kita perbolehkan dan diamati serta diarahkan. Disinilah letak poin pokok dari kesiapan ilmiah dimana seorang pendidik tidak hany membawa sekedar kapasitas tetapi juga harus membawa hasrat untuk mengamati fenomena yang terjadi di sekitarnya. Seorang pendidik harus memahami posisinya sebagai pengamat dan aktivitasnya dalam fenomena tersebut.[22]
4.      Struktur dan Keteraturan (Structure and Order)
Struktur dan keteraturan alam semesta harus tercermin dalam lingkungan kelas Montessori, dengan demikian anak akan menginternalisasinya dan akhirnya membangun mental dan intelegensinya sendiri terhadap lingkungannya. Melalui keteraturan anak akan belajar untuk percaya pada lingkungan belajar dan belajar untuk berintraksi dengan lingkungannya dengan cara yang positif. Hanya dalam lingkungan yang dirancang dengan cara yang tepat dan benar anak dapat mengkategorisasikan persepsinya yang pada ahirnya nanti akan membentuk pemahaman mereka yang benar terhadap realitas dunia.
Melalui keteraturan, misalnya anak tau kemana harus mencari mainan yang ia inginkan. Oleh karena itu, penempatan barang dan mainan harus dirancan sesuai dengan klasifikasi berdasarkan ketentuan tertentu. Sebagai contoh, alat bermain ditempatkan dalam rak yang rendah sehingga terjangkau anak, ditata dengan rapid an teratur sesuai kategori, begitu juga dengan halnya ruangan kelas, tertata sedemikian rupa penuh dengan keteraturan.
Keteraturan atau kedisiplinan seorang anak disini bukanlah berdisiplin yang berarti diam, seorang anak diharuskan berdisiplin aktif, yakni dengan memahami perbedaan hal yang baik dengan hal yang buruk, dan tugas seorang pendidik adalah untuk memastikan bahwa anak tidak mengartikan bahwa baik itu berarti diam dan buruk itu banyak bergerak. Karena tujuan utama dalam pendidikan adalah keteraturan dalam aktifitas, bekerja, dan melakukan kebaikan bukan untuk diam dan bersikap pasif.[23]
5.      Realitas Dan Alami
Lingkungan pendidikan Montessori didasarkan atas prinsip realitas dan kealamian, anak harus memiliki kesempatan untuk menginternalisasikan keterbukaan alam dan realitas supaya mereka terbebas dari sikap angan-angan (fantasi) atau ilusi baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Untuk kehidupan fisiknya anak perlu bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan perangsang dari alam. Untuk psikisnya seorang pendidik harus menempatkan jiwa anak untuk bersentuhan dengan kreasi agar anak dapat mengambil banyak manfaat dari daya-daya pendidikan langsung dari alam hayati. Metode untuk sampai kepada tujuan ini dengan melihatkan anak dalam kegiatan permainan, memandunya untuk memelihara tanaman dan hewan, juga membimbingnya kepada perenungan cerdas tentang alam.[24]
Hanya dengan cara ini mereka mengembangkan disiplin diri dan keamanan yang diperlukan untuk menggali dunia eksternal dan internal mereka serta untuk menjadikan mereka pengamat realitas hidup yang aktif dan apresiatif. Alat bermain dan dan lingkungan dalam kelas Montessori didasarkan atas konsep realistis. Sebagai contoh, anak dihadapkan dengan telpon yang sesungguhnya, gelas sebenarnya, setrika, pisau dan lain-lain.[25] Menurut Montessori, manusia adalah milik alam, begitu pula anak-anak. Mereka membutuhkan gambaran dunia yang akan mereka hadapi kelak melalui alam. Semua hal yang diperlukan untuk mengembangkan jiwa dan raga mereka adalah alam sebenarnya. Jadi, dalam konsep pendidikan Montessori, segala sesuatu harus dirancang sedemikian rupa agar sealami dan serealistis mungkin, baik lingkungan indoor maupun outdoor. Montessori percaya bahwa anak pertama kali harus dihadapkan dengan alam melalui perawatan tanaman dan binatang.[26]
6.      Keindahan dan Nuansa
Lingkungan Montessori harus sederhana. Semua yang ada didalamnya harus memiliki desain dan kualitas yang baik. Tewa warna harus menunjukkan kegembiraan. Nuansa ruangan harus terkesan santai dan hangat sehingga mengundang anak untuk bebas berpartisipasi aktif.[27]
Perkakas yang dipakai berbeda dengan sekolah pada umumnya, karena bentuk dan beratnya disesuaikan dengan kekuatan dan kebutuhan anak. Kran-kran pencuci tangan tidak terluapkan. Gambar-gambar yang digantung harus rendah sesuai dengan tinggi anak, menghias dinding-dinding di atas lemari-lemari kecil yang ada di kelas, didalam kelas tidak ada bangku melainkan hanya kursi dan meja kecil.[28]
7.      Prinsip-prinsip Permainan Montessori (Montessori Materials)
Montessori materials disini adalah bukan semata-mata alat permainan, melainkan semua benda yang ada dalam lingkungan. Tujuan dari semua benda itu bukan bersifat eksternal untuk mengejar keterampilan anak, tapi utamanya adalah bersifat internal yaitu membantu perkembangan fisik dan pengembangan diri anak. Oleh karena itu benda atau alat bermain tersebut sesuai dengan kebutuhan internal anak. Artinya benda-benda atau alat-alat bermain tersebut harus disajikan atau diberikan pada moment yang sesuai dengan perkembangan mereka.[29]
E.     Tujuan Metode Montessori
Tujuan utama dalam metode Montessori adalah mempersiapkan anak mengarungi kehidupan dengan menekankan proses perkembangan anak secara normal dan maksimal. Dalam kenyataannya belajar pada anak tidak lebih dari perkembangan mental atau intelektual anak. Dengan kata lain tujuan metode Montessori dititik beratkan pada keterampilan intelektual secara umum bukan pada mata pelajaran secara khusus. Metode Montessori berlandaskan pada kondisi alami penyerapan otak dan perkembangan spontanitas periode sensitive anak untuk menunjang perkembangan fisik dan psikis, serta mengarahkan anak untuk hidup sehat dan bebas.
Secara keseluruhan, menurut American Montessori Society (1984). Tujuan metode Montessori meliputi pengembangan konsentrasi, keterampilan mengamati, kesadaran memahami tingkatan atau urutan, koordinasi, kesadaran dalam melakukan persepsi dan keterampilan praktis, konsep yang bersifat matematis, keterampilan berbahasa, keterampilan membaca dan menulis, terbiasa dengan hal-hal yang bersifat seni dan kreatif, memahami dunia alam dan lingkungan, memahami ilmu social, berpengalaman dengan keterampilan yang bersifat teknik menyelesaikan masalah. Dengan kata lain program Montessori kenyataannya sangat bertanggung  jawab terhadap perkembangan fisik, social, emosional, dan intelektual anak.[30]
F.      Belajar dan perkembangan menurut motessori
Teori utama tentang cara belajar adalah proses pikiran menyerap (the absorbent mind) periode sensitive, dan proses normalisasi selain menjadi pemoles yang menentukan prilaku dan kemampuan, ketiga komponen tersebut merupakan hakekat kreatifitas seseorang yang lambat laun membentuk kepribadian dan manusia seutuhnya. Sumber kreativitas alam ini terdiri dari kapasitas belajar dari dalam diri anak yang disebut pikiran menyerap (absorbent mind) dan fase perkembangan fisik yang disebut periode sensitive.
William Crain menjelaskan bahwa komponen utama teori Montessori adalah konsep periode-periode kepekaan. Periode-periode kepekaan (sensitive periods) mirip dengan periode-periode kritis. secara genetis mereka sudah diprogram untuk memblokir waktu sehingga pada waktu tertentu anak begitu ingin dan mampu menguasai tugas-tugas tertentu. Dalam bukunya Crain menjelaskan satu persatu kerja dalam periode-periode Montessori tersebut, diantaranya adalah:[31]
1)      Peride kepekaan akan keteraturan (0-3 tahun)
Selama periode kepekaan pertama ini, yang terjadi selama tiga tahun pertama anak memiliki kebutuhan yang kuat terhadap keteraturan. Segera setalah memasuki periode ini, mereka menyukai meletakkan objek ditempatnya semula. Jika sebuah buku atau pena tergeletak bukan pada tempatnya, mereka akan segera menaruhnya kembali ke tempat semula.
2)      Periode kepekaan akan detail (1-2 tahun)
Anatara usia satu sampai dua tahun, anak-anak memusatkan perhatian kepada detail selama bermenit-menit. Contohnya,mereka mendeteksi serangga yang lolos dari perhatian kita. Kepedulian akan detail ini menandakan perubahan di dalam perkembangan psikis anak.
3)      Periode kepekaan bagi penggunaan tangan (18 bulan-3 tahun)
Periode kepekaan ketiga berisi penggunaan tangan. Antara usia 18 bulan sampai 3 tahun, anak-anak suka memegang objek-objek. Secara khusus mereka suka membuka dan menutup segala sesuatu, meletakkan objek  kedalam kotak, menuangkannya keluar, lalu memasukannya lagi. Selama dua tahun berikutnya atau lebih, mereka memperbaiki gerakan dan indera sentuhan mereka.
4)      Periode kepekaan untuk berjalan
Periode kepekaan yang paling mudah dibaca adalah berjalan. Belajar berjalan, kata Montessori adalah sejenis kelahiran kedua, anak berubah dari makhluk yang tak berdaya menjadi makhluk yang aktif. Anak-anak didorong oleh impuls yang tidakbisa dilawan dalam upaya mereka untuk berjalan, dan mereka berjalan dengan bangga seolah-olah mereka telah menemukan caranya.
5)      Periode kepekaan terhadap bahasa
Periode kepekaan kelima, dan mungkin yang paling menakjubkan terdiri atas penguasaan bahasa. Apa yang menakjubkan adalah kecepatan belajar anak dalam menguasai proses kompleks tersebut. untuk mempelajari sebuah bahasa, mereka harus belajar bukan hanya kata-kata dan maknanya, namun juga gramatikanya, sebuah sistem aturan yang memberitahukan mereka tempat bermacam-macam bagian ujaran.
















BAB III
KESIMPULAN
Berbicara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kita tidak bisa lepas dari tokoh yang satu ini Maria Montessori. Dimana telah disinggung diatas bahwa peran dan gagasannya yang telah mewarnai corak PAUD di dunia. Namun kita juga patut menafsirkan dengan mengadaptasi tidak sekedar mengadopsi gagasan Maria Montessori tersebut ketika akan diterapkan dalam PAUD di Indonesia.
Untuk menjangkau audien yang lebih luas, Montessori menggunakan dua cara utama untuk menyebarkan metodenya: ceramah dan penerbitan. Sebagai seorang profesor Montessori menjadi dosen yang ahli dan dia menggunakan ceramah didepan umum untuk menyebarkan metodenya. Montessori juga ahli dalam menggunakan penerbitan untuk menyebarkan ide-idenya baik kepada kalangan pendidik maupun kepada kalangan publik.
Pada prinsipnya secara umum gagasan beliau adalah, bahwa anak dilihat sebagai individu yang harus dilakukan seoptimal mungkin dalam lingkungan si anak. Kita sebagai orang dewasa tidak bisa menyepelekan dan meremehkan kemampuan anak. sehingga anak memilki hak untuk belajar sesuai dengan cara dan metode yang diinginkannya.









DAFTAR PUSTAKA
Crain, William, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2007.
Harjaningrum, Agnes Tri, Peranan Orang Tua dan Praktisi Dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan tren Pendidikan, jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Magini, Agustina Prasetyo, Sejarah pendekatan Montessori, Yogyakarta: KANISIUS, 2013.
Montessori, Maria, Metode Montessori, Terj. Ahmad Lintang Lazuardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Roopnarine, Jaipaul L. & James E. Johnson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai Pendekatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Sujiono, Yuliani Nurani, Konsep dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, 2009.
Suyadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Elizabeth G. Hainstock, Kenapa Montessori? Keunggulan Metode Montessori Bagi Tumbuh Kembang anak, Jakarta: Mitra Media,2008.
Maria Montessori, The Montessori Method “Scientific Pedagogy as Aplied to Child Education In The Children Houses”, Translate From The Italian by Anne E. George, New York, 1912.
Majalah Ayah Bunda, Menyiapkan Anak masuk Sekolah,
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1996.
Ag. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, bandung: CV, Ilmu, 1978.
Montessori, Maria, The Absorbent Mind, Pikiran Yang Mudah Menyerap, diterjemahkan oleh Dariyatno, Cetakan1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Gettman, David, “Basic Montessori: Learning Actives For Under Fives”, (New York: Santa Martin’s Press, 1987), Dalam http://www.montessorimom.com/what-montessori-method/,
Patmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta: Reineka Cipta, 2003.




[1] Agustina Prasetyo Magini, Sejarah pendekatan Montessori, (Yogyakarta: KANISIUS, 2013), hal. 9.
[2] Antonio Stoppani adalah sepupu Renilde, seorang pastor ilmuwan yang menjadi dosen di Universitas Pavia dan Fakultas Politeknik Milan.
[3] Agustina Prasetyo Magini, Sejarah pendekatan Montessori . . . Ibid, Hal. 10.
[4] Ibid, hal. 14.
[5] Ibid, hal. 18.
[6] Ibid, hal. 22.
[7] Elizabeth G. Hainstock, Kenapa Montessori? Keunggulan Metode Montessori Bagi Tumbuh Kembang anak, (Jakarta: Mitra Media,2008), hal 57.
[8] Ibid., hal. 9.
[9] Maria Montessori, The Absorbent Mind (Pikiran Yang Mudah Menyerap), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 7.
[10] Maria Montessori, The Montessori Method “Scientific Pedagogy as Aplied to Child Education In The Children Houses”, Translate From The Italian by Anne E. George, (New York, 1912), hal. 13.
[11] Maria Montessori, The Montessori Method, …, hal. 11.
[12] Majalah Ayah Bunda, Menyiapkan Anak masuk Sekolah, No. 4, hal. 21.
[13] Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hal. 185.
[14] Maria Montessori, The Montessori method, . . . hal 86
[15] Ag. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, (bandung: CV, Ilmu, 1978), hal 80.
[16] Maria Montessori, The Absorbent Mind, Pikiran Yang Mudah Menyerap, diterjemahkan oleh Dariyatno, Cetakan1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 145.
[17] Ibid., hal 160.
[18] Elizabeth G. Hainstock, kenapa Montessori, keunggulan Metode Montessori Bagi Tumbuh Kembang Anak (Jakarta: Mitra Media, 2008), hal. 63.
[19] Maria Montessori, The Montessori, …. Hal. 83-84.
[20] Jaipaul L. Roopnarine & James E. Johnson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai Pendekatan, terj, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hal. 382.
[21] David gettman, “Basic Montessori: Learning Actives For Under Fives”, (New York: Santa Martin’s Press, 1987), hal 30. Dalam http://www.montessorimom.com/what-montessori-method/, diakses pada hari sabtu, 19 maret 2016.
[22] Maria Montessori, The Montessori method, . . . hal.87
[23] Ibid, … hal. 93.
[24] Ibid., hal. 154.
[25] Elizabeth g. Hainstock, Kenapa Montessori…, hal. 58.
[26] Ibid., hal. 59.
[27] Ibid., hal. 55.
[28] Ag, soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, … hal. 92.
[29] Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, (Jakarta: Reineka Cipta, 2003), hal. 94.
[30] David Getman,” Basic Montessori: Learning Activities For Under Fives”, (New York: Santa Martin’s Press, 1987), Dalam http://www.montessorimom.com/what-montessori-method/, diakses pada hari senin, 21 maret .
[31] William Crain, Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasinya, (Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2007), Hal. 100-102