TEORI-TEORI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI
TEORI KONSTRUKTIVISTIK (KONSTRUKTIVISME)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran anak usia dini berbeda dengan anak sekolah
dasar dan atau jenjang yang lebih tinggi. Yang di perlukan disini adalah
pemberian stimulasi yang paling efektif. Anak memiliki karakteristik yang
berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam belajar
anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa.
Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan
dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran utnuk anak
usia dini.
Salah satu teori pembelajaran yang sangat menarik
perhatian dalam dunia pendidikan adalah teori pembelajaran konstruktivistik. sehingga banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mengadakan
perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem pendidikan mereka.
Teori konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai
kegiatan manusia yang membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba
memberi makna pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan
dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu yang diperoleh manusia senantiasa
bersifat tentative dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam
dan kuat jika teruji dengan pengalaman baru.[1]
Dan menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruksikan
pengetahuannya secara aktif, meskipun ia berumur tua maka tidak akan berkembang
pengetahuannya.[2]
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas). Pengetahuan
bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Jadi pengetahuan
bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia
yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses
pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis
percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (murid). Murid sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman-pengalaman mereka.
Tampak bahwa pengetahuan
lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada dunia itu
sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan.
Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat
diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Dari pemikiran-pemikiran
inilah timbul adalanya pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan anak usia dini yang dicetuskan oleh beberapa pemikir yang berkontribusi di dalam
pendidikan, yang akhirnya melaluinya dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan
sekarang ini. Beberapa hal tersebut akan dibahas di dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian konstruktivisme?
2. Bagaimana teori-teori konstruktivisme
3. Bagaiana implikasi teori konstruktivistik terhadap
pembelajaran anak usia
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian konstruktivisme?
2. Untuk megetahui Bagaimana teori-teori konstruktivisme
3. Untuk mengetahui Bagaiana implikasi teori
konstruktivistik terhadap pembelajaran anak usia dini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konstruktivisme
Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang
artinya membangun atau menyusun. Teori ini menrupakan suatu aliran filsafat
pengetahuan yang mengatakan bahwa kita yang membentuk pengetahuan secara aktif
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang memang sudah ada.[3]
Menurut Shapiro (1994), pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia.
Pengetahuan adalah kerangka uttuk mengerti bagaimana seseorang
mengorganisasikan pengalaman dan apa yang mereka percayai sebagai realitas.[4]
Maka dapat juga dimaknai bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan
akibat dari suatu pembentukan (konstruksi) kognitifnya melalui aktifitasnya dan
interaksi edukatif yang dilakukan dalam keadaan sadar.
Menurut dua tokoh besar seperti piaget dan Vygotsky,
menekankan bahwa perubahan kognisi hanya terjadi ketika kosepsi sebelumnya
mengalami proses ketidakseimbangan (disequilibration) dari sudut informasi
baru.[5]
Menurut pakar lain, konstruktivisme merupakan cara pandang (filosofis) yang
menganjurkan perubahan proses pembelajaran skolastik (baik formal maupun non
formal) melalui pengenalan, penyusunan, dan penetapan tangkapan pengetahuan
berdasar reaksi (di dalam pikiran) peserta didik.[6]
Secara filosofis kaum konstruktivisme memandang bahwa
belajar adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian
hasilnya di perluas melalui konteks yang terbatas dan tidak tiba-tiba.[7]
Paham konstruktivisme memandang
bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru di sekolah tidak bisa dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membangun suatu
pengetahuan dari pengalaman yang dimilikinya.
Hal ini sesuai dengan firman allah dalam al-qur’an yaitu
:
Q.S. Ar-Ra’ad
ayat 11:
إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’ad: 11)[8]
Pembelajaran adalah hasil dari pada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh mengajarkan begitu saja
untuk muridnya. Untuk membantu murid membangun
konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengetahui struktur kognitif yang
mereka miliki. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk
dijadikan bagian dan pegangan yang kuat bagi mereka, barulah kerangka baru
tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat disusun. Proses ini dinamakan
konstruktivisme.
Ada empat karakteristik pembelajaran dalam teori konstruktivisme.
1.
Adanya pembelajaran yang dibentuk oleh para peserta didik secara mandiri.
2.
Adanya hubungan antara pemahaman
baru
yang
dimiliki
para
peserta didik dengan pemahaman lama yang mereka
miliki
3.
Adanya aturan yang jelas tentang
interaksi sosial
4.
Adanya kebutuhan terhadap pembelajaran otentik untuk
mewujudkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
B. Teori-Teori Konstruktivisme
1. Teori Konstruktivisme menurut Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang
sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori
perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan
intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan
intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual
yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan.
Teori kognitif
dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang
pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun
1960-an. Paradigma konstruktivistik jean piaget yang di kenal dengan meta-cognition
melandasi timbulnya strategi kognitif. Meta-cognition merupakan
keterampilan yang dimiliki siswa dalam mengatur dan mengontrol proses
berfikirnya[9].
Pengertian
kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi
ketika anak sudah membangun pengetahuan melalui eksplorasi aktif dan
penyelidikan pada lingkungan fisik dan sosial di lingkungan sekitar.[10]
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
a. Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf
b. Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme
dengan dunianya
c. Interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh
dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan
d. Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri
organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya.
Ketika anak berpikir, mereka mesti
mengadaptasi pengalaman yang langsung dialami dalam hubungannya dengan pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu metode
pemikiran baru yang lebih inklusif. Ketika anak berinteraksi dengan
lingakungan, mereka menemui situasi dan objek alamiah yang belum mereka kenal.
Situasi ini menimbulkan kekaburan atau pernyataan bagi individu. Piaget
menyebutkan hal yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan
ketidakseimbangan kognitif (cognitive disequilibrium).
Untuk mengatasi situasi yang tidak
menentu itu, individu mesti mengubah cara berpikirnya, atau memakai istilah Piaget, individu mesti
mengadaptasi secara mental. Adaptasi terdiri dari asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan pengalaman dari
lingkungan dan menggabungkan dengan cara berpikir yang dimiliki sehingga
pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah
penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap situasi baru. Proses
pengasimilasian dan pengakomodasian biasanya terjadi bersama. Piaget menyatakan bahwa asimilasi
dan akomodasi adalah dua sisi dari koinadaptip yakni keduanya
hanya dapat dipisah dalam pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah
ketika individu berinteraksi dengan lingkungan.
Piaget mengemukakan penahapan dalam
perkembangan intelektual anak dibagi ke dalam empat periode, yaitu :
a. Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
b. Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
c. Periode operasional konkret ( 7,0 –
11,0 tahun )
d. Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )[11]
Sebaran umur pada setiap tahapan tersebut adalah
rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain, antara individu yang satu dan individu yang lain, dan
teori ini berdasarkan hasil penelitian di negri swiss pada tahun 1950-an.[12]
2. Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky
Lev Vygotsky yang di kenal sebagai a socialcultural
constructivis berpendapat bahwa pengetahuan tidak di peroleh dengan cara
dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan
diciptakan oleh anak.[13]
Di dalam Belajar
akan melalui proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar
merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara
psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan
lingkungan social budaya.[14]
Sehingga munculnya perilaku seseorang adalah intervening kedua elemen tersebut.
Dasar teori Vygotsky adalah
kepercayaan pokok bahwa pengembanan pengetahuan dan prilaku anak terjadi dalam
konteks hubungan social dengan orang dewasa dan teman sebaya. Ini berarti bahwa
pembelajaran dan perkembangan terhubung secara social ketika anak berintraksi
dengan teman sebaya dan orang dewasa yang lebih kompeten. Ketika anak
memperoleh kemampuan untuk menguasai bahasa dan hubungan social yang sesuai,
mereka akan mampu untuk mengatur perilaku mereka secara sengaja.[15]
Ada dua konsep penting dalam teori
Vygotsky, yaitu :
1. Zone of
Proximal Development (Zona Perkembangan Proksimal)
Zone of
Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan
teman sejawat yang lebih mampu. Keyakinan Vygotsky akan pentingnya pengaruh
social, terutama pengajaran terhadap perkembangan kognitif anak-anak tercermin
dalam konsep zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal (Zone
of Proximal Development-ZPD) adalah
istilah Vygotsky untuk berbagai tugas yang sulit untuk dikuasai sendiri oleh
anak-anak, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa
atau anak-anak yang lebih terampil.[16]
Kata Zona digunakan karena
Vygotsky menganggap perkembangan anak-anak bukan sebagai titik dalam sebuah
skala tapi sebagai sebuah rangkaian kesatuan keterampilan dan kemampuan pada
tingkat penguasaan yang berbeda-beda. Dengan menggunakan kata dekat, ia
menegaskan bahwa zona itu terbatas pada keterampilan dan kemampuan yang akan
berkembang dalam waktu dekat.[17]
Ada dua tingkat tindakan menentukan
batasan ZPD seorang anak :[18]
a) Batasan yang lebih rendah ditentukan
oleh tingkat perbuatan mandiri anak
b) Batasan yang lebih tinggi adalah
yang terbanyak yang biasa dilakukan seorang anak diantu oleh orang yang lebih
berpengalaman, seperti guru. Ini adalah perbuatan anak dengan bantuan.
Dengan demikian, batas bawah ZPD
adalah tingat keterampilan yang dapat diraih oleh anak-anak yang dilakukan
secara mandiri. Batas atasnya adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat
diterima anak-anak dengan bantuan pengajar yang kompeten.
2. Scaffolding
Scaffolding merupakan pemberian
sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Teori ini merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membimbing anak dalam ZPD. Menurut George S. Morrison , Scaffolding
adalah penggunaan metode-metode informal seperti percakapan, pertanyaan,
pencontohan, pembimbingan, dan dukungan untuk membentuk anak mempelajari
sendiri.[19]
Implementasi scaffolding dapat
dengan mudah kita temukan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari anak usia
dini. Faktor-faktor yang sederhana namun penting untuk diingat dalam
implementasi scaffolding adalah bahwa pertama, kebutuhan terhadap scaffloding
datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari anak, scaffolding
akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap proses belajar anak.
Suatu interferensi terhadap proses
belajar anak disadari atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang
akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.Yang kedua,
scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan
lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona
perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain peran.
Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru (teacher centered) dan
meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered); sedemikian hingga
muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat pembelajaran dengan disiplin
diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut kelak.
3. Teori Konstruktivisme menurut Jerome Bruner
Salah satu
model kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori dari dari jerome bruner yang
di kenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
anak didik dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner
menyarankan agar anak belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep
dan pronsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan
melakukan eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip
itu sendiri.
Pengetahuan
yang diperoleh melalui belajar penemuan menunjukkan kebaikan, diantaranya
adalah :
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat di ingat
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih
baik
3. Belajar melibatkan proses informasi (active learning)
4. Pemaknaan berdasarkan hubungan
5. Proses belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan
strategi
Adapun teori bruner dalam perkembangan intelektual adalah
:
1. Enactive, dimana anak didik belajar tentang dunia melalui
tindakannya pada objek, anak melakukan aktifitasnya dalam usahanya memahami
lingkungan
2. Iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model
dan gambar
3. Symbolic yang mendiskripsikan kapasitas dalam berfikir
abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilakukan
dengan pertolongan system symbol.
Ciri khas
Teori Pembelajaran Menurut Bruner adalah mengenai “Empat Tema tentang
Pendidikan”. Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan
agar dapat ditransformasikan. Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam
proses belajar juga ada empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan
yaitu:
a. mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal
ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk melihat,
bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan
satu dengan yang lain.
b. tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan
terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat
mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
c. menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan
intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi
tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah
formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
d. tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan
cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Menurut Jerome bruner, proses pembelajaran peserta didik
melalui tiga tahap, yakni:[20]
1. tahap informasi (penerimaan materi)
2. tahap transformasi (pengubahan materi)
3. tahap evaluasi (penilaian materi)
Dasar dari teori Bruner adalah piaget, yang menyatakan
bahwa anak berperan secara aktif di dalam kelas. Discovery learning (belajar
penemuan secara bebas) yang dimaksud di sini adalah anak mengorganisasi bahan
yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Mata pelajaran yang ada diajarkan
secara efektif dalam bentuk intelektual yang sessuai dengan tingkat
perkembangan anak.[21]
Hal ini memberikan arti bahwa pada tingkat permulaan, pengajaran diberikan
dengan cara-cara yang bermakna dan makin meningkat kea rah yang abstrak. jhon
Dewey mendukung Discovery Learning ini dengan problem solving
(menemukan masalah).
Pengembangan program pengajaran yang lebih efektif adalah
dengan mengoordinasikan metode penyajian bahan, dengan itu anak dapat
mempelajari bahan tersebut sesuai dengan tingkat kemajuannya.[22]
Seorang guru hendaknya memberikan kesempatan kepada murid untuk menjadi seorang
Problem solver dan Scientist. Jadi, murid dibiarkan untuk menemukan arti bagi
diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di
dalam bahasa yang dimengerti mereka.[23]
C. Implikasi Teori Konstruktivistik Terhadap Pembelajaran Anak Usia Dini.
Sebelum kita langsung ke
dalam pembahasan implikasi pandangan konstruktivistik pada pembelajaran bagi
anak usia dini. Mari kita telaah dahulu hakikat pembelajaran itu sendiri dalam
pandangan konstruktivistik. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori
belajar konstruktivisme, pengrtahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Kemudian, setelah kita
tahu hakikat pembelajaran dalam pandangan konstruktivistik, kita mendapatkan
sedikit gambaran mengnai seperti apa implikasinya. Dan untuk lebih jelasnya,
berikut implikasi pembelajaran dalam koridor konstruktivistik yaitu :
1.
tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi,
2.
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
3. peserta didik diharapkan
selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
4. memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
5. memberi kesempatan kepada
siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif
6. memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru
7. memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
8. menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran konstruktivisme meyakini bahwa
pembelajaran terjadi saat anak berusaha memahami dunia disekeliling mereka,
anak membangun pemahaman mereka sendiri terhadap dunia sekitar dan pembelajaran
menjadiproses interaktif yang melibatkan teman sebaya, orang dewasa, dan
lingkungan.
1.
Teori piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak
secara garis besar terbagi empat periode yaitu
pada periode sensori motor (0 – 2 tahun), periode praoperasional (2-7
tahun), periode operasional konkrit (7-11 tahun), dan periode operasi formal
(11-15) tahun. Dalam teori piaget ini anak-anak mengembangkan cara-cara
berfikir dan pemahaman melalui tindakan dan interaksi mereka dengan dunia
fisik.
2.
Teori Bruner
Teori belajar Bruner hampir serupa dengan teori
Piaget, Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti tiga
tahap representasi yang berurutan, yaitu: a) enaktif, segala perhatian anak
tergantung pada responnya; b) ikonik, pola berpikir anak tergantung pada
organisasi sensoriknya dan c) simbolik, anak telah memiliki pengertian yang
utuh tentang sesuatu hal sehingga anak telah mampu mengutarakan pendapatnya
dengan bahasa.
Implikasi teori Bruner dalam proses
pembelajaran adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan
atau suatu masalah.Dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau
mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai
keseimbangan di dalam benaknya.
3.
Teori Vygotsky
Prinsip
dari teori belajar Vygotsky adalah anak-anak lebih sering digambarkan sebagai
mahluk social, mereka mengembangkan cara berfikir dan memahami mereka dari
interaksi social. Dalam proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan
dua konsep belajar, yaitu: zone proximal development (ZPD) dan Scoffalding. ZPD
adalah jarak kesenjangan antara level perkembangan yang actual yang ditunjukkan
dengan pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa ataupun oleh teman
sebaya. Scoffalding adalah bantuan bersifat sementara, selama kemampuan anak
didik bertambah maka scoffalding yang diberikan makain lama semakin berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
C
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: renika cipta,
2005).
Baharuddin,
& Esa Nur Wahyuni, teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007)
Paul
Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam pendidikan
Robert
E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid 2.
Elin
Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual,
Al-wasi’,
Alqur’an Al-karim dan terjemahannya, (semarang, PT Karya Toha Putra
semarang, 1996) hal. 199
Martinis
Yamin, Paradigma pendidikan Konstruktivistik, (Jakarta: GP Press, 2008)
Yuliani
Nurani Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan
Jamak, (Jakarta, PT Indeks, 2010)
Hastuti,
Psikologi Perkembangan anak (Jakarta selatan, Tugu Publisher, 2012)
George S. Morrison, Dasar-dasar Pendidikan
anak Usia Dini (PAUD), (jakarta barat, PT Indeks, 2012)
Jhohn
W. Santrock, Masa Perkembangan Anak, (Jakarta, salemba humanika, 2009)
Jaipul
L. Roopnarine & James E. Jhonson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam
Berbagai Pendekatan, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2011)
Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, Logos, 1999)
Wasti
Soemanto. Psikologi pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998)
Suyadi, Psikologi Belajar PAUD, (Depok Sleman Yogyakarta, PT
Bintang Pustaka Abadi, 2010)
[1] C Asri
Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: renika cipta, 2005).
Hal 20
[2]
Baharuddin,
& Esa Nur Wahyuni, teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007). Hal 115-116
[3]
Paul Suparno, Filsafat
Konstruktivisme Dalam pendidikan, Hal 18
[5]
Robert E.
Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid 2. Hal 4
[6] Elin Rosalin, Gagasan
Merancang Pembelajaran Kontekstual, hal 5
[7] Baharuddin
& Esa Nur Wahyuni, teori belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007). 116
[8] Al-wasi’, Alqur’an
Al-karim dan terjemahannya, (semarang, PT Karya Toha Putra semarang, 1996)
hal. 199
[9] Martinis
Yamin, Paradigma pendidikan Konstruktivistik, (Jakarta: GP Press, 2008)
hal. 10
[10] Yuliani Nurani
Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak,
(Jakarta, PT Indeks, 2010) hal. 29
[11]
Hastuti, Psikologi
Perkembangan anak (Jakarta selatan, Tugu Publisher, 2012) hal. 50
[13]
Yuliani Nurani
Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak,
. . . hal. 29
[14]
Baharuddin
& Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran….. hal 116
[15] George S. Morrison, Dasar-dasar
Pendidikan anak Usia Dini (PAUD), (jakarta barat, PT Indeks, 2012). Hal.345
[16] Jhohn W.
Santrock, Masa Perkembangan Anak, (Jakarta, salemba humanika, 2009) hal.
49
[17] Jaipul L.
Roopnarine & James E. Jhonson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai
Pendekatan, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2011) hal. 248
[18] Ibid ……. Hal.
248
[19]
George S. Morrison, Dasar-dasar Pendidikan anak Usia
Dini (PAUD)………. Hal.346
[20] Muhibbin Syah,
Psikologi Belajar, (Jakarta, Logos, 1999) hal. 23
[21] Wasti
Soemanto. Psikologi pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998) hal.
127-128
[22] Suyadi, Psikologi
Belajar PAUD, (Depok Sleman Yogyakarta, PT Bintang Pustaka Abadi, 2010)
hal. 193.
[23]
Wasti Soemanto.
Psikologi pendidikan…….. hal. 134
Menurut saya untuk kurpsr sangat mengganggu,, lebih baik biasa aja,, soalnya saat membaca isi dari artikel jadi tidak fokus,,,,
BalasHapus