Kamis, 17 Maret 2016

TEORI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI (TEORI KONSTRUKTIVISME)



TEORI-TEORI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI
TEORI KONSTRUKTIVISTIK (KONSTRUKTIVISME)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembelajaran anak usia dini berbeda dengan anak sekolah dasar dan atau jenjang yang lebih tinggi. Yang di perlukan disini adalah pemberian stimulasi yang paling efektif. Anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa. Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran utnuk anak usia dini.
Salah satu teori pembelajaran yang sangat menarik perhatian dalam dunia pendidikan adalah teori pembelajaran konstruktivistik. sehingga banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mengadakan perubahan-perubahan  secara mendasar terhadap sistem pendidikan mereka.
Teori konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia yang membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentative dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman baru.[1] Dan menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya secara aktif, meskipun ia berumur tua maka tidak akan berkembang pengetahuannya.[2]
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif  melalui kegiatan seseorang. Jadi pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka.
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Dari pemikiran-pemikiran inilah timbul adalanya pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan anak usia dini yang dicetuskan oleh beberapa pemikir yang berkontribusi di dalam pendidikan, yang akhirnya melaluinya dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan sekarang ini. Beberapa hal tersebut akan dibahas di dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian konstruktivisme?
2.      Bagaimana teori-teori konstruktivisme
3.      Bagaiana implikasi teori konstruktivistik terhadap pembelajaran anak usia
C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian konstruktivisme?
2.      Untuk megetahui Bagaimana teori-teori konstruktivisme
3.      Untuk mengetahui Bagaiana implikasi teori konstruktivistik terhadap pembelajaran anak usia dini





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konstruktivisme
Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang artinya membangun atau menyusun. Teori ini menrupakan suatu aliran filsafat pengetahuan yang mengatakan bahwa kita yang membentuk pengetahuan secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang memang sudah ada.[3] Menurut Shapiro (1994), pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adalah kerangka uttuk mengerti bagaimana seseorang mengorganisasikan pengalaman dan apa yang mereka percayai sebagai realitas.[4] Maka dapat juga dimaknai bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan akibat dari suatu pembentukan (konstruksi) kognitifnya melalui aktifitasnya dan interaksi edukatif yang dilakukan dalam keadaan sadar.
Menurut dua tokoh besar seperti piaget dan Vygotsky, menekankan bahwa perubahan kognisi hanya terjadi ketika kosepsi sebelumnya mengalami proses ketidakseimbangan (disequilibration) dari sudut informasi baru.[5] Menurut pakar lain, konstruktivisme merupakan cara pandang (filosofis) yang menganjurkan perubahan proses pembelajaran skolastik (baik formal maupun non formal) melalui pengenalan, penyusunan, dan penetapan tangkapan pengetahuan berdasar reaksi (di dalam pikiran) peserta didik.[6]
Secara filosofis kaum konstruktivisme memandang bahwa belajar adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya di perluas melalui konteks yang terbatas dan tidak tiba-tiba.[7] Paham konstruktivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru di sekolah tidak bisa dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna.  Murid perlu membangun suatu pengetahuan dari pengalaman yang dimilikinya.
Hal ini sesuai dengan firman allah dalam al-qur’an yaitu :
Q.S. Ar-Ra’ad ayat 11:
                                                       
إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’ad: 11)[8]

 Pembelajaran adalah hasil dari pada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh mengajarkan begitu saja untuk muridnya. Untuk membantu murid membangun konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengetahui struktur kognitif yang mereka miliki. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan bagian dan pegangan yang kuat bagi mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat disusun. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Ada empat karakteristik pembelajaran dalam teori konstruktivisme.
1.      Adanya pembelajaran yang dibentuk oleh para peserta didik secara mandiri.
2.      Adanya  hubungan  antara  pemahaman  baru  yang  dimiliki  para peserta didik dengan pemahaman lama yang mereka miliki
3.      Adanya aturan yang jelas tentang interaksi sosial
4.      Adanya kebutuhan terhadap pembelajaran otentik untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
B.     Teori-Teori Konstruktivisme
1.      Teori Konstruktivisme menurut Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Paradigma konstruktivistik jean piaget yang di kenal dengan meta-cognition melandasi timbulnya strategi kognitif. Meta-cognition merupakan keterampilan yang dimiliki siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berfikirnya[9].
Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi ketika anak sudah membangun pengetahuan melalui eksplorasi aktif dan penyelidikan pada lingkungan fisik dan sosial di lingkungan sekitar.[10]
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
a.       Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf
b.      Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya
c.       Interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan
d.      Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Ketika anak berpikir, mereka mesti mengadaptasi pengalaman yang langsung dialami dalam hubungannya dengan pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu metode pemikiran baru yang lebih inklusif. Ketika anak berinteraksi dengan lingakungan, mereka menemui situasi dan objek alamiah yang belum mereka kenal. Situasi ini menimbulkan kekaburan atau pernyataan bagi individu. Piaget menyebutkan hal yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan ketidakseimbangan kognitif (cognitive disequilibrium).
Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, individu mesti mengubah cara berpikirnya, atau memakai istilah Piaget, individu mesti mengadaptasi secara mental. Adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan pengalaman dari lingkungan dan menggabungkan dengan cara berpikir yang dimiliki sehingga pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap situasi baru. Proses pengasimilasian dan pengakomodasian biasanya terjadi bersama. Piaget menyatakan bahwa asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koinadaptip  yakni keduanya hanya dapat dipisah dalam pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu berinteraksi dengan lingkungan.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak dibagi ke dalam empat periode, yaitu :
a.       Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
b.      Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
c.        Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun )
d.      Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )[11]
Sebaran umur pada setiap tahapan tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, antara individu yang satu dan individu yang lain, dan teori ini berdasarkan hasil penelitian di negri swiss pada tahun 1950-an.[12]
2.      Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky
Lev Vygotsky yang di kenal sebagai a socialcultural constructivis berpendapat bahwa pengetahuan tidak di peroleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak.[13] Di dalam Belajar akan melalui proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan social budaya.[14] Sehingga munculnya perilaku seseorang adalah intervening kedua elemen tersebut.
Dasar teori Vygotsky adalah kepercayaan pokok bahwa pengembanan pengetahuan dan prilaku anak terjadi dalam konteks hubungan social dengan orang dewasa dan teman sebaya. Ini berarti bahwa pembelajaran dan perkembangan terhubung secara social ketika anak berintraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa yang lebih kompeten. Ketika anak memperoleh kemampuan untuk menguasai bahasa dan hubungan social yang sesuai, mereka akan mampu untuk mengatur perilaku mereka secara sengaja.[15]
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu :
1.      Zone of Proximal Development (Zona Perkembangan Proksimal)
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Keyakinan Vygotsky akan pentingnya pengaruh social, terutama pengajaran terhadap perkembangan kognitif anak-anak tercermin dalam konsep zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development-ZPD)  adalah istilah Vygotsky untuk berbagai tugas yang sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil.[16]
Kata Zona digunakan karena Vygotsky menganggap perkembangan anak-anak bukan sebagai titik dalam sebuah skala tapi sebagai sebuah rangkaian kesatuan keterampilan dan kemampuan pada tingkat penguasaan yang berbeda-beda. Dengan menggunakan kata dekat, ia menegaskan bahwa zona itu terbatas pada keterampilan dan kemampuan yang akan berkembang dalam waktu dekat.[17]
Ada dua tingkat tindakan menentukan batasan ZPD seorang anak :[18]
a)      Batasan yang lebih rendah ditentukan oleh tingkat perbuatan mandiri anak
b)      Batasan yang lebih tinggi adalah yang terbanyak yang biasa dilakukan seorang anak diantu oleh orang yang lebih berpengalaman, seperti guru. Ini adalah perbuatan anak dengan bantuan.
Dengan demikian, batas bawah ZPD adalah tingat keterampilan yang dapat diraih oleh anak-anak yang dilakukan secara mandiri. Batas atasnya adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak-anak dengan bantuan pengajar yang kompeten.
2.      Scaffolding
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Teori ini merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membimbing anak dalam ZPD.  Menurut George S. Morrison , Scaffolding adalah penggunaan metode-metode informal seperti percakapan, pertanyaan, pencontohan, pembimbingan, dan dukungan untuk membentuk anak mempelajari sendiri.[19]
Implementasi scaffolding dapat dengan mudah kita temukan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yang sederhana namun penting untuk diingat dalam implementasi scaffolding adalah bahwa pertama, kebutuhan terhadap scaffloding datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap proses belajar anak.
Suatu interferensi terhadap proses belajar anak disadari atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.Yang kedua, scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain peran. Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru (teacher centered) dan meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered); sedemikian hingga muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat pembelajaran dengan disiplin diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut kelak.
3.      Teori Konstruktivisme menurut Jerome Bruner
Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori dari dari jerome bruner yang di kenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh anak didik dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar anak belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan pronsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan menunjukkan kebaikan, diantaranya adalah :
1.      Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat di ingat
2.      Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik
3.      Belajar melibatkan proses informasi (active learning)
4.      Pemaknaan berdasarkan hubungan
5.      Proses belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi
Adapun teori bruner dalam perkembangan intelektual adalah :
1.      Enactive, dimana anak didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek, anak melakukan aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan
2.      Iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3.      Symbolic yang mendiskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilakukan dengan pertolongan system symbol.
Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner adalah mengenai “Empat Tema tentang Pendidikan”. Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan. Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam proses belajar juga ada empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan yaitu:
a.       mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
b.       tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
c.        menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
d.      tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Menurut Jerome bruner, proses pembelajaran peserta didik melalui tiga tahap, yakni:[20]
1.      tahap informasi (penerimaan materi)
2.      tahap transformasi (pengubahan materi)
3.      tahap evaluasi (penilaian materi)
Dasar dari teori Bruner adalah piaget, yang menyatakan bahwa anak berperan secara aktif di dalam kelas. Discovery learning (belajar penemuan secara bebas) yang dimaksud di sini adalah anak mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Mata pelajaran yang ada diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sessuai dengan tingkat perkembangan anak.[21] Hal ini memberikan arti bahwa pada tingkat permulaan, pengajaran diberikan dengan cara-cara yang bermakna dan makin meningkat kea rah yang abstrak. jhon Dewey mendukung Discovery Learning ini dengan problem solving (menemukan masalah).
Pengembangan program pengajaran yang lebih efektif adalah dengan mengoordinasikan metode penyajian bahan, dengan itu anak dapat mempelajari bahan tersebut sesuai dengan tingkat kemajuannya.[22] Seorang guru hendaknya memberikan kesempatan kepada murid untuk menjadi seorang Problem solver dan Scientist. Jadi, murid dibiarkan untuk menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka.[23]
C.    Implikasi Teori Konstruktivistik Terhadap Pembelajaran Anak Usia Dini.
Sebelum kita langsung ke dalam pembahasan implikasi pandangan konstruktivistik pada pembelajaran bagi anak usia dini. Mari kita telaah dahulu hakikat pembelajaran itu sendiri dalam pandangan konstruktivistik. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengrtahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Kemudian, setelah kita tahu hakikat pembelajaran dalam pandangan konstruktivistik, kita mendapatkan sedikit gambaran mengnai seperti apa implikasinya. Dan untuk lebih jelasnya, berikut implikasi pembelajaran dalam koridor konstruktivistik yaitu :
1.      tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi,
2.      kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
3.      peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
4.      memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
5.      memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
6.      memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
7.      memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
8.      menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Aliran konstruktivisme meyakini bahwa pembelajaran terjadi saat anak berusaha memahami dunia disekeliling mereka, anak membangun pemahaman mereka sendiri terhadap dunia sekitar dan pembelajaran menjadiproses interaktif yang melibatkan teman sebaya, orang dewasa, dan lingkungan.
1.      Teori piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar terbagi empat periode yaitu  pada periode sensori motor (0 – 2 tahun), periode praoperasional (2-7 tahun), periode operasional konkrit (7-11 tahun), dan periode operasi formal (11-15) tahun. Dalam teori piaget ini anak-anak mengembangkan cara-cara berfikir dan pemahaman melalui tindakan dan interaksi mereka dengan dunia fisik.
2.      Teori Bruner
Teori belajar Bruner hampir serupa dengan teori Piaget, Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti tiga tahap representasi yang berurutan, yaitu: a) enaktif, segala perhatian anak tergantung pada responnya; b) ikonik, pola berpikir anak tergantung pada organisasi sensoriknya dan c) simbolik, anak telah memiliki pengertian yang utuh tentang sesuatu hal sehingga anak telah mampu mengutarakan pendapatnya dengan bahasa.
Implikasi teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah.Dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya.
3.      Teori Vygotsky
Prinsip dari teori belajar Vygotsky adalah anak-anak lebih sering digambarkan sebagai mahluk social, mereka mengembangkan cara berfikir dan memahami mereka dari interaksi social. Dalam proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan dua konsep belajar, yaitu: zone proximal development (ZPD) dan Scoffalding. ZPD adalah jarak kesenjangan antara level perkembangan yang actual yang ditunjukkan dengan pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa ataupun oleh teman sebaya. Scoffalding adalah bantuan bersifat sementara, selama kemampuan anak didik bertambah maka scoffalding yang diberikan makain lama semakin berkurang.


























DAFTAR PUSTAKA
C Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: renika cipta, 2005).
Baharuddin, & Esa Nur Wahyuni, teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam pendidikan
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid 2.
Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual,
Al-wasi’, Alqur’an Al-karim dan terjemahannya, (semarang, PT Karya Toha Putra semarang, 1996) hal. 199
Martinis Yamin, Paradigma pendidikan Konstruktivistik, (Jakarta: GP Press, 2008)
Yuliani Nurani Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta, PT Indeks, 2010)
Hastuti, Psikologi Perkembangan anak (Jakarta selatan, Tugu Publisher, 2012)
George S. Morrison, Dasar-dasar Pendidikan anak Usia Dini (PAUD), (jakarta barat, PT Indeks, 2012)
Jhohn W. Santrock, Masa Perkembangan Anak, (Jakarta, salemba humanika, 2009)
Jaipul L. Roopnarine & James E. Jhonson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai Pendekatan, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2011)
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, Logos, 1999)
Wasti Soemanto. Psikologi pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998)
Suyadi, Psikologi Belajar PAUD, (Depok Sleman Yogyakarta, PT Bintang Pustaka Abadi, 2010)






[1] C Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: renika cipta, 2005). Hal 20
[2] Baharuddin, & Esa Nur Wahyuni, teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007). Hal 115-116
[3] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam pendidikan, Hal 18
[4] Ibid …….., Hal 28
[5] Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid 2. Hal 4
[6] Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual, hal 5
[7] Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, teori belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007). 116
[8] Al-wasi’, Alqur’an Al-karim dan terjemahannya, (semarang, PT Karya Toha Putra semarang, 1996) hal. 199
[9] Martinis Yamin, Paradigma pendidikan Konstruktivistik, (Jakarta: GP Press, 2008) hal. 10
[10] Yuliani Nurani Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta, PT Indeks, 2010) hal. 29
[11] Hastuti, Psikologi Perkembangan anak (Jakarta selatan, Tugu Publisher, 2012) hal. 50
[12] Ibid, ……. Hal. 50
[13] Yuliani Nurani Sujiono & Bambang Sujiono, Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak, . . .  hal. 29
[14] Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran….. hal 116
[15] George S. Morrison, Dasar-dasar Pendidikan anak Usia Dini (PAUD), (jakarta barat, PT Indeks, 2012). Hal.345
[16] Jhohn W. Santrock, Masa Perkembangan Anak, (Jakarta, salemba humanika, 2009) hal. 49
[17] Jaipul L. Roopnarine & James E. Jhonson, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai Pendekatan, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2011) hal. 248
[18] Ibid ……. Hal. 248
[19] George S. Morrison, Dasar-dasar Pendidikan anak Usia Dini (PAUD)……….  Hal.346
[20] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, Logos, 1999) hal. 23
[21] Wasti Soemanto. Psikologi pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998) hal. 127-128
[22] Suyadi, Psikologi Belajar PAUD, (Depok Sleman Yogyakarta, PT Bintang Pustaka Abadi, 2010) hal. 193.
[23] Wasti Soemanto. Psikologi pendidikan…….. hal. 134

1 komentar:

  1. Menurut saya untuk kurpsr sangat mengganggu,, lebih baik biasa aja,, soalnya saat membaca isi dari artikel jadi tidak fokus,,,,

    BalasHapus

A
G
A
J
I
L
A
K
N
A
N
U
S
N
I
U
Z
I
Z
A
K
I
R
O
H
T